Minggu, 23 Januari 2011

Pandangan Islam terhadap Cinta

Pandangan Islam terhadap Cinta

Cinta dalam pandangan Islam adalah suatu hal yang sakral. Islam adalah agama fitrah, sedang cinta itu sendiri adalah fitrah kemanusiaan. Allah telah menanamkan perasaan cinta yang tumbuh di hati manusia. Islam tidak pula melarang seseorang untuk dicintai dan mencintai, bahkan Rasulullan menganjurkan agar cinta tersebut diutarakan.

“Apabila seseorang mencintai saudaranya maka hendaklah ia memberitahu bahwa ia mencintainya.” (HR Abu Daud dan At-Tirmidzy).

Seorang muslim dan muslimah tidak dilarang untuk saling mencintai, bahkan dianjurkan agar mendapat keutamaan-keutamaan. Islam tidak membelenggu cinta, karena itu Islam menyediakan penyaluran untuk itu (misalnya lembaga pernikahan) dimana sepasang manusia diberikan kebebasan untuk bercinta.

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya, Dia menciptakan untukmu pasangan-pasangan dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya dan dijadikan-Nya di antaramu rasa cinta dan kasih sayang,…”(Ar-Ruum: 21)

Ayat di atas merupakan jaminan bahwa cinta dan kasih sayang akan Allah tumbuhkan dalam hati pasangan yang bersatu karena Allah (setelah menikah). Jadi tak perlu menunggu “jatuh cinta dulu” baru berani menikah, atau pacaran dulu baru menikah sehingga yang menyatukan adalah si syetan durjana (na’udzubillahi min zalik). Jadi Islam jelas memberikan batasan-batasan, sehingga nantinya tidak timbul fenomena kerusakan pergaulan di masyarakat.

Dalam Islam ada peringkat-peringkat cinta, siapa yang harus didahulukan/ diutamakan dan siapa/apa yang harus diakhirkan. Tidak boleh kita menyetarakan semuanya.

“Dan di antara manusia ada orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; Mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang beriman amat sangat cintanya kepada Allah…” (Al-Baqarah: 165)

Menurut Syaikh Ibnul Qayyim, seorang ulama di abad ke-7, ada enam peringkat cinta (maratibul-mahabah), yaitu:

Peringkat ke-1 dan yang paling tinggi/paling agung adalah tatayyum, yang merupakan hak Allah semata.

“Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanya untuk Rabbul ‘alamiin.”

“Dan orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah (S.2: 165)

Jadi ungkapan-ungkapan seperti: “Kau selalu di hatiku, bersemi di dalam qalbu” atau “Kusebutkan namamu di setiap detak jantungku,” “Cintaku hanya untukmu,” dll selayaknya ditujukan kepada Allah. Karena Dialah yang memberikan kita segala nikmat/kebaikan sejak kita dilahirkan, bahkan sejak dalam rahim ibu… Jangan terbalik, baru dikasih secuil cinta dan kenikmatan sama si ‘do’i’ kita sudah mau menyerahkan jiwa raga kepadanya yang merupakan hak Allah. Lupa kepada Pemberi Nikmat, “Maka nikmat apa saja yang ada pada kalian, maka itu semua dari Allah (S. 2: 165).

Peringkat ke-2; ‘isyk yang hanya merupakan hak Rasulullah saw. Cinta yang melahirkan sikap hormat, patuh, ingin selalu membelanya, ingin mengikutinya, mencontohnya, dll, namun bukan untuk menghambakan diri kepadanya.

“Katakanlah jika kalian cinta kepada Allah, maka ikutilah aku (Nabi saw) maka Allah mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian.” (Ali Imran: 31)

Peringkat ke-3; syauq yaitu cinta antara mukmin dengan mukmin lainnya. Antara suami istri, antar orang tua dan anak, yang membuahkan rasa mawaddah wa rahmah.

Peringkat ke-4; shababah yaitu cinta sesama muslim yang melahirkan ukhuwah Islamiyah.

Peringkat ke-5; ‘ithf (simpati) yang ditujukan kepada sesama manusia. Rasa simpati ini melahirkan kecenderungan untuk menyelamatkan manusia, berdakwah, dll.

Peringkat ke-6 adalah cinta yang paling rendah dan sederhana, yaitu cinta/keinginan kepada selain manusia: harta benda. Namun keinginan ini sebatas intifa’ (pendayagunaan/pemanfaatan).

Filosofi Kupu-Kupu



Mungkin kalian sudah pada tahu filosofi metamorfosis kupu2, tapi kali ini filosofinya beda bukan metamorfosisnya tapi saat prose keluarnya kupu2 dari kepompong. Untuk lebih memahaminya silahkan baca cerita dibawah ini.
Ujian dalam hidup bisa berupa tragedi atau kemenangan, tergantung bagaimana kita menyikapinya. Kemenangan tidak datang tanpa usaha.
Seorang guru biologi sedang mengajar murid-muridnya bagaimana ulat berubah menjadi kupu-kupu. Dia mengatakan kepada siswa bahwa dalam beberapa jam berikutnya, kupu-kupu akan berjuang untuk keluar dari kepongpong. Tapi tidak ada yang boleh membantu kupu-kupu. Lalu dia pergi.
Para siswa menunggu dan itu terjadi. Kupu-kupu berjuang untuk keluar dari kepompong, dan salah satu siswa kasihan dan memutuskan untuk membantu kupu-kupu keluar dari kepongpong melawan nasihat gurunya. Ia mematahkan kokon untuk membantu kupu-kupu sehingga tak perlu berjuang lagi. Namun tak lama kemudian kupu-kupu itu mati.
Ketika guru itu kembali, ia diceritakan apa yang terjadi. Dia menjelaskan kepada siswa ini bahwa dengan membantu kupu-kupu, itu berarti dia telah membunuhnya.karena merupakan hukum alam bahwa perjuangan untuk keluar dari kepongpong sebenarnya membantu mengembangkan dan menguatkan sayapnya.
Anak itu telah menghilangkan perjuangan kupu2 dan kupu2 itupun mati.
Menerapkan prinsip yang sama untuk hidup kita. Tidak ada yang berharga dalam hidup datang tanpa perjuangan. Tapi kebanyakan orang cenderung tidak membiarkan orang kita cintai untuk berjuang (kasihan) padahal dengan berjuang kita bisa mendapatkan "kekuatan".